Jakarta (15 Oktober 2024) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyelenggarakan Climate and Air Quality Fair 2024. Kegiatan ini merupakan media promosi dalam konteks penggunaan teknologi dan metodologi pengamatan kualitas udara yang terstandar serta penyediaan informasi kualitas udara.
Sekretaris Utama BMKG Dwi Budi Sutrisno menjelaskan kualitas udara dan perubahan iklim adalah dua isu yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Emisi dari pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa menjadi penghubung yang krusial antara kedua permasalahan ini.
"Polutan seperti CO2, metana, dan black carbon tidak hanya berkontribusi terhadap pemanasan global, tetapi juga berdampak buruk terhadap kualitas udara yang kita hirup setiap hari," kata Dwi Budi di Auditorium Gedung Pusat BMKG, Jakarta, (15/10).
Lebih lanjut, perubahan suhu rata-rata global dari tahun 1850 hingga 2023 terus mengalami peningkatan secara signifikan. Pun, anomali suhu permukaan tahun 2023 telah memperlihatkan kenaikan suhu di berbagai wilayah dunia khususnya belahan bumi bagian utara.
BMKG sendiri telah melakukan pemantauan terhadap konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebagai upaya global untuk mengamati gas rumah kaca. Data yang diukur menunjukkan tren peningkatan CO2 yang konsisten dari tahun ke tahun, sejalan dengan tren global peningkatan emisi akibat aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi.
"Sebaran NO2 yang dipantau oleh BMKG via satelit TROPOMI menunjukkan konsentrasi tertinggi terdeteksi di area urban dan sekitar fasilitas pembangkit listrik," ujarnya.
Juga, berdasarkan data monitoring, sebaran partikel akibat kebakaran hutan dan lahan pada 5 Oktober 2023 menunjukkan konsentrasi partikel yang tinggi akibat pembakaran biomassa yang tersebar di sebagian besar wilayah Sumatra dan Kalimantan. Akibatnya, emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti CO2, metana (CH4), dan polutan lainnya berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global dengan memperkuat efek rumah kaca di atmosfer.
"Selain itu emisi ini juga mengandung partikel berbahaya seperti black carbon dan nitrogen oksida (NOx) yang secara langsung menurunkan kualitas udara," jelasnya.
Senada, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan pembakaran bahan bakar fosil di industri dan transportasi menghasilkan polutan udara seperti SO2 dan NO2 yang berdampak buruk pada kualitas udara. Polutan ini dapat bereaksi dengan uap air di atmosfer membentuk asam sulfat (H2SO4) yang turun sebagai hujan asam, merusak lingkungan dan ekosistem perairan, dan meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan kardiovaskular bagi masyarakat yang terpapar.
Mengetahui data-data tersebut, BMKG berperan penting dalam melakukan pemantauan PM2.5 dan gas rumah kaca. Sebanyak 27 peralatan pemantauan referensi PM2.5 dan 5 Gas Rumah Kaca telah dioperasikan. Konsentrasi PM2.5 diukur setiap jam dan informasinya dapat diakses secara near real-time melalui website dan aplikasi resmi BMKG. Pun, laboratorium kualitas udara BMKG berperan penting dalam melakukan pemantauan dan analisis kualitas udara secara akurat, utamanya untuk deposisi kering dan deposisi basah polutan.
Dalam Climate and Air Quality Fair kali ini, tema yang diusung adalah "Jaga Udara Bersih untuk Lawan Perubahan Iklim". Tema ini mengingatkan semua pihak akan pentingnya menjaga udara yang bersih, tidak hanya untuk aspek kesehatan kita tetapi juga untuk keberlanjutan lingkungan, serta pentingnya kolaborasi di berbagai pihak untuk mengurangi dampak buruk dari emisi pencemaran udara.
Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan Verifikasi KLHK Hari Wibowo menjelaskan pemerintah memiliki target pengurangan emisi gas rumah kaca 2030 sebagaimana yang telah disepakati pada Paris Agreement. Yakni, kewajiban masing-masing negara untuk menyampaikan kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan komitmen para pihak untuk mencapai titik puncak emisi gas rumah kaca secepat mungkin dan melakukan upaya penurunan cepat melalui aksi mitigasi.
"Komitmen adaptasi Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat dan ekosistem yang berketahanan terhadap risiko dan dampak perubahan iklim pada tahun 2030," kata Hari.
Sementara itu, Direktur Penyehatan Lingkungan Kesehatan Kementerian Kesehatan Anas Ma'ruf menjelaskan baik polusi udara indoor maupun outdoor mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan manusia di setiap kelompok usia. Orang yang paling rentan adalah kelompok usia lanjut dan kelompok anak-anak.
Kualitas udara yang buruk dapat mengakibatkan kelahiran bayi dengan berat badan yang rendah atau prematur. Di fase awal kehidupan dapat menyebabkan asma, infeksi pernapasan. Pada orang dewasa bisa stroke, penyakit kardiovaskular, dan bronkitis kronis.
"Strategi adaptasi pengelolaan dampak kesehatan dari buruknya kualitas udara adalah pelayanan kesehatan atas penyakit akibat polusi udara (PPOK, Asma, Pneumonia) di fasilitas pelayanan kesehatan primer dan rujukan. Riset penyakit dan tata laksana yang terkait faktor risiko polusi udara," ujarnya.
Pada akhirnya, isu kualitas udara dan perubahan iklim adalah dua isu yang harus segera diselesaikan oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah hingga masyarakat luas. Terpenting, keterlibatan generasi muda memiliki peran krusial dalam menggerakkan kampanye untuk menjaga kualitas udara dan memerangi perubahan iklim.
Dengan keterlibatan aktif dalam aksi lingkungan dan edukasi, mereka menjadi agen perubahan yang mendorong kesadaran masyarakat luas akan pentingnya upaya kolektif dalam menjaga lingkungan bagi masa depan yang lebih bersih dan sehat.