Kembali ke Berita

BMKG Ungkap Sejarah Runtuhnya Peradaban Akibat Perubahan Iklim

04 November 2025

Dwi Herlambang

Berita

BMKG Ungkap Sejarah Runtuhnya Peradaban Akibat Perubahan Iklim

Jember, 29 Oktober 2025 – Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman nyata yang secara historis telah terbukti membentuk hingga meruntuhkan peradaban manusia. Ia menekankan, kemampuan sistem peringatan dini iklim saat ini menjadi kunci untuk mencegah terulangnya gejolak sosial akibat bencana hidrometeorologi.

“Iklim memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan dan keberlangsungan peradaban. Peradaban manusia, khususnya Homo sapiens, berkembang di wilayah dengan suhu ideal 20–21 derajat Celcius dan akses air cukup,” kata Ardhasena dalam Kuliah Praktisi bertajuk ‘Perubahan Iklim Sebagai Ancaman Nyata: Catatan Sejarah Peradaban dan Pandangan Masa Depan’ di Universitas Jember, Jawa Timur, Rabu (29/10).

Secara kebetulan, banyak peradaban besar seperti Mesir dan Persia tumbuh di kawasan yang memenuhi dua syarat utama tersebut yaitu keseimbangan suhu dan ketersediaan air dari sungai-sungai besar.

Di hadapan 100 peserta, Ardhasena menjelaskan bagaimana dinamika iklim ekstrem di masa lalu menjadi faktor pendorong runtuhnya peradaban besar seperti Maya dan Tiahuanaco. Ia juga mencontohkan erupsi Gunung Tambora yang memicu fenomena “Years Without Summer” dan mengguncang sistem sosial dan ekonomi manusia.

Di sisi lain, ia turut menyinggung sejumlah kejadian besar abad ke-20 yang berkorelasi dengan fenomena El Niño, seperti kelaparan di Tiongkok (1957–1958), India (1972–1973), dan Ethiopia (1982–1983). Ia menjelaskan bahwa pada masa lalu belum ada kemampuan deteksi dini terhadap anomali iklim yang bisa memicu gejolak sosial.

“Namun pada El Niño 2015–2016 gejolak tersebut tidak lagi terjadi, salah satunya karena BMKG telah memiliki sistem informasi dan peringatan dini yang semakin matang,” ujarnya.

Dalam konteks sejarah sosial, Ardhasena mengutip pemikiran Abu Zaid Abdurrahman (1377 M) yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi dan telah mengaitkan antara kekeringan, kelaparan, konflik sosial, migrasi, dan wabah penyakit.

Iklim, Pertanian, Adaptasi

Menanggapi pertanyaan peserta terkait dampak pada sektor pertanian Indonesia, Ardhasena mengakui adanya potensi penurunan produktivitas akibat kenaikan suhu dan kelembapan. Namun, ia memastikan upaya adaptasi terus berjalan.

“BMKG terus bekerja sama dengan berbagai mitra pertanian untuk mendukung strategi adaptasi, seperti pengembangan varietas tanaman yang lebih tahan panas dan kekeringan,” jelasnya.

Usai kuliah praktisi, kegiatan dilanjutkan dengan audiensi dan penjajakan kerja sama antara BMKG dengan Rektor Universitas Jember, Iwan Taruna. Kedua pihak membahas penguatan sinergi di bidang pendidikan, penelitian, dan layanan informasi iklim terapan.

Poin penting penjajakan kerja sama tersebut meliputi pemanfaatan data iklim BMKG untuk penelitian ketahanan pangan, kolaborasi riset, program KKN tematik berbasis data iklim lokal, serta rencana penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) untuk mendukung kegiatan akademik, termasuk program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL).

“Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya BMKG memperluas literasi iklim di kalangan akademisi dan generasi muda,” pungkasnya.

Berita Lainnya

BMKG Ungkap Sejarah Runtuhnya Peradaban Akibat Perubahan Iklim

BMKG Ungkap Sejarah Runtuhnya Peradaban Akibat Perubahan Iklim

BMKG Gagas Kolaborasi Data Iklim Solusi Perkebunan Hadapi Ancaman Iklim

BMKG Gagas Kolaborasi Data Iklim Solusi Perkebunan Hadapi Ancaman Iklim

Gelar SLI di Jember, BMKG Tegaskan Literasi Iklim Petani Penting untuk Ketahanan Pangan

Gelar SLI di Jember, BMKG Tegaskan Literasi Iklim Petani Penting untuk Ketahanan Pangan