
Kembali ke Berita Utama
Kepala BMKG Hadiri Simposium Internasional di Jepang, Soroti Krisis Iklim dan Peran Perempuan dalam Mitigasi Bencana
05 August 2025
Fahmi Dendi Saputra
Berita Utama

Osaka, 5 Agustus 2025 – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof. Dwikorita Karnawati menjadi salah satu pembicara dalam International Symposium on Disaster Resilience and Climate Change yang diselenggarakan pada 4–5 Agustus 2025 di Osaka, Jepang. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian World Expo 2025 dan diinisiasi oleh IEEE Nuclear & Plasma Sciences Society (NPSS) bekerja sama dengan Universitas Osaka.
Simposium tersebut menjadi forum strategis yang mempertemukan ilmuwan, akademisi, dan pemangku kepentingan dari berbagai negara untuk memperkuat kerja sama lintas sektor dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan peningkatan risiko bencana global. Sejumlah narasumber terkemuka dari Amerika Serikat, Jepang, India, Inggris, Kanada, Swiss, dan negara-negara Asia Tenggara turut hadir dalam forum ini sehingga memperkaya diskusi lintas perspektif.
Dalam sambutannya, Prof. Dwikorita menyampaikan apresiasi kepada panitia penyelenggara, yang terdiri atas kolaborasi pemimpin perempuan dari berbagai negara. Ia menyebut tim tersebut sebagai “Dream Team“, simbol kolaborasi lintas budaya dan kepemimpinan yang inklusif.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus dan rasa bangga kami kepada para panitia. Dream Team, para pemimpin wanita dari seluruh dunia, dari Amerika Serikat, Jepang, India, Jerman, Kanada dan India, kalian seperti tiga menjadi satu (You’re three in one),” ujarnya di hadapan peserta simposium yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan pemangku kepentingan global di bidang kebencanaan.
Dalam paparannya, Dwikorita menekankan posisi Indonesia sebagai negara yang sangat rentan terhadap bencana alam, khususnya karena letaknya di kawasan Cincin Api Pasifik. Setiap tahun, Indonesia mengalami sekitar 9.000 hingga 11.000 gempa bumi, dengan 160-200 kejadian di antaranya berkekuatan lebih dari magnitudo lima.
Selain itu, Indonesia juga menghadapi dampak nyata dari perubahan iklim. Berdasarkan data BMKG, suhu rata-rata nasional telah meningkat sebesar 1,15°C dibandingkan dengan era pra-industri, mendekati ambang batas 1,5°C yang diproyeksikan tercapai sebelum akhir abad ini.
“Perubahan iklim ini meluas, berlangsung cepat, dan semakin intens. Banyak dari perubahan ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam ribuan, bahkan ratusan ribu tahun. Beberapa perubahan, seperti kenaikan permukaan air laut yang terus-menerus, tidak dapat diubah (irreversible) dalam kurun waktu ratusan hingga ribuan tahun,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dwikorita menyampaikan bahwa perubahan iklim turut meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem, memperburuk kerentanan di negara-negara berkembang. Ia juga menyoroti ketimpangan kapasitas mitigasi antarwilayah sebagai tantangan besar yang dapat menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Sebagai bentuk kontribusi Indonesia, Dwikorita mengangkat keberhasilan pembangunan sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS) yang dikembangkan pasca-tsunami Samudra Hindia 2004. Sistem ini kini telah diadopsi oleh 25 negara di kawasan Samudra Hindia dalam upaya memperkuat perlindungan bagi masyarakat pesisir.
“Itu adalah pelajaran yang kami petik. Dimulai dari kegagalan tsunami, kemudian kami bekerja sama dengan India dan Australia untuk menjaga Samudra Hindia, untuk melindungi 28 negara di sepanjang garis pantai Samudra Hindia. Terima kasih India, terima kasih Australia, dan terima kasih kepada semua pihak yang peduli,” tutur Dwikorita.
Namun, ia menegaskan bahwa teknologi semata tidak cukup dalam pengelolaan risiko bencana. Perlu pendekatan yang melibatkan edukasi lintas generasi, pelibatan komunitas, serta integrasi antara ilmu pengetahuan modern dan kearifan lokal. BMKG sendiri telah menjalankan sejumlah program edukasi berbasis masyarakat, seperti Sekolah Lapang Iklim untuk petani dan pelatihan nelayan dalam memahami peringatan dini siklon tropis.
Ia juga mengakui adanya tantangan dalam pemerataan sistem peringatan dini di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah terpencil yang masih menghadapi keterbatasan infrastruktur, listrik, dan jaringan komunikasi. Oleh karena itu, Dwikorita mengajak komunitas internasional untuk memperkuat kolaborasi dalam menutup kesenjangan ini, agar sistem peringatan dini multi-bahaya dapat menjangkau seluruh masyarakat, termasuk kelompok rentan.
Dalam kesempatan tersebut, ia turut menyoroti pentingnya peran perempuan dan generasi muda dalam upaya mitigasi bencana. Salah satu kisah inspiratif yang dibagikannya adalah tentang teknisi perempuan di Papua yang tetap meluncurkan balon cuaca demi keselamatan penerbangan, meskipun berada di wilayah konflik bersenjata.
“Kami memiliki perempuan-perempuan luar biasa yang menjadi garda terdepan di lapangan. Namun, masih banyak ruang untuk memperbesar partisipasi perempuan dalam sektor ini,” ujarnya.
Ia juga berbagi pengalaman program edukasi lapangan yang melibatkan mahasiswa dalam pendampingan masyarakat desa untuk membangun sistem peringatan dini berbasis komunitas. Upaya ini dinilai penting dalam membentuk budaya sadar risiko sejak dini.
Menutup pidatonya, Prof. Dwikorita menyerukan pentingnya kerja sama global lintas sektor dan inklusif untuk membangun sistem peringatan dini multi-bahaya yang andal dan menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Ia mendorong kolaborasi antar-lembaga, penguatan komunikasi risiko, serta keberlanjutan edukasi berbasis komunitas.
“Kita bukanlah dinosaurus, tidak sekuat dinosaurus, tetapi kita memiliki sains, teknologi, dan hati nurani,” pungkasnya.