
Kembali ke Berita Utama
Kepala BMKG Hadiri Seminar Nasional UNIPA, Tekankan Mitigasi Bencana di Papua
18 February 2025
Ibrahim
Berita Utama

Manokwari, 18 Februari 2025 – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Kebumian I yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTPP) Universitas Papua (UNIPA) secara daring melalui telekonferensi. Seminar ini diadakan dalam rangka Dies Natalis ke-10 FTPP UNIPA dengan tema “Ilmu Kebumian untuk Percepatan Pembangunan” serta subtema “Peran Serta Ilmu Kebumian untuk Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berbasis Konservasi dalam Pembangunan Berkelanjutan, Khususnya di Papua Barat.”
Dalam pemaparannya, Dwikorita menekankan bahwa Papua, terutama wilayah Papua Barat, merupakan salah satu daerah dengan aktivitas kegempaan tertinggi di Indonesia akibat pertemuan lempeng tektonik serta adanya sejumlah sesar aktif. Berdasarkan data BMKG, terdapat delapan sumber gempa utama di Papua, termasuk Sesar Sorong, Sesar Yapen, dan Sesar Memberamo, yang memiliki potensi besar menimbulkan gempa bumi merusak.
Selain itu, Dwikorita juga menyoroti fenomena seismic gap, yaitu zona yang tampak sepi gempa dalam jangka waktu lama, tetapi sebenarnya sedang mengalami akumulasi energi tektonik yang sewaktu-waktu dapat dilepaskan dalam bentuk gempa besar. Hal ini menjadi perhatian serius bagi para ahli geologi dan pemangku kebijakan di Papua Barat dalam upaya mitigasi bencana.
Selain gempa bumi, seminar ini juga membahas sejarah panjang tsunami di Papua, yang telah terjadi lebih dari sembilan kali sejak tahun 1800-an. Salah satu tsunami terdahsyat tercatat pada gempa Biak tahun 1996 (Mw 8,2) yang menelan 107 korban jiwa dan 51 orang hilang. Bahkan, gempa Manokwari tahun 2009 (Mw 7,6) yang episentrumnya berada di darat tetap memicu tsunami setinggi 1,8 meter, menandakan bahwa tsunami tidak hanya terjadi akibat gempa bawah laut, tetapi juga bisa dipicu oleh longsor bawah laut akibat guncangan.
Dalam rangka mengurangi risiko bencana, BMKG telah memasang 77 seismograf broadband dan dua seismograf short period di Papua untuk memantau aktivitas seismik secara real-time. Selain itu, Prof. Dwikorita menekankan pentingnya penyesuaian tata ruang berbasis mitigasi bencana, dengan menempatkan zona merah sebagai wilayah yang memerlukan perhatian khusus dan penerapan standar bangunan tahan gempa.
“Kesiapsiagaan harus dimulai dari sekarang. Tidak hanya dengan standar bangunan tahan gempa, tetapi juga dengan pelatihan evakuasi rutin, pemasangan jalur dan rambu evakuasi yang jelas, serta edukasi kepada masyarakat mengenai tindakan sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi,” ujar Dwikorita.
Sebagai penutup, ia mengajak seluruh civitas akademika Universitas Papua untuk terus berperan aktif dalam riset dan penerapan ilmu kebumian guna mendukung pembangunan berkelanjutan di Papua Barat. “Semoga UNIPA semakin maju dan terus menjadi garda terdepan dalam mitigasi bencana berbasis ilmu pengetahuan,” tutupnya.
Seminar ini diikuti oleh berbagai akademisi, mahasiswa, dan praktisi kebumian dari seluruh Indonesia, yang turut mendiskusikan berbagai strategi dalam pemanfaatan sumber daya alam secara bijak serta langkah-langkah adaptasi terhadap risiko geologi yang ada di Papua Barat.