
Kembali ke Berita
Hadapi Bencana Hidrometeorologi, Kepala BMKG Tekankan Peran Informasi dari Hulu ke Hilir
17 December 2025
Linda Juliawanti
Berita

Yogyakarta, 17 Desember 2025 – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Teuku Faisal Fathani menegaskan bahwa pengelolaan informasi yang andal, terintegrasi, dan berkelanjutan dari hulu ke hilir merupakan pilar utama dalam manajemen risiko bencana hidrometeorologi. Informasi yang kuat dinilai menjadi fondasi penting dalam mendukung sistem peringatan dini, upaya mitigasi, hingga pengambilan keputusan kebencanaan yang efektif.
Hal tersebut disampaikan saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk “Early Warning, Early Action: Kilas Balik Bencana Hidrometeorologi sebagai Basis Rekomendasi Aksi Mendatang” yang diselenggarakan secara hybrid oleh Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rabu (17/12/2025).
Dalam paparannya, Faisal mengungkapkan bahwa berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kejadian bencana di Indonesia masih didominasi oleh banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem yang terjadi hampir di seluruh wilayah. Dinamika atmosfer, termasuk pengaruh siklon tropis seperti Cempaka, Seroja, dan Senyar, turut memperparah intensitas hujan ekstrem yang memicu banjir dan longsor.
“Secara umum trennya terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga kewaspadaan dan kesiapsiagaan harus diperkuat secara berkelanjutan,” ungkap Faisal.
Menurutnya, tantangan tersebut perlu dijawab melalui penguatan sistem peringatan dini yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Dalam konteks ini, BMKG berperan di hulu sebagai penyedia data, informasi, dan peringatan dini berbasis sains.
“BMKG berada di hulu. Kami menyediakan data, kemudian didukung big data dan analisis. Selanjutnya, di Disaster Management Command Center ditetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan,” ujar Faisal yang mengikuti webinar secara daring melalui Zoom.
Ia menjelaskan, hasil analisis tersebut kemudian didiseminasikan melalui berbagai kanal komunikasi, mulai dari peringatan dini resmi, media sosial, hingga aplikasi perpesanan. Diseminasi informasi yang cepat, tepat, akurat, dan mudah dipahami menjadi kunci agar peringatan dini tidak berhenti pada penyampaian pesan, tetapi mampu mendorong aksi penyelamatan di lapangan.
“Intinya BMKG bekerja di hulu memberikan early warning. Harapannya, nanti dapat tidak hanya sampai pesan peringatan dininya, tapi juga dapat dipahami dan menimbulkan aksi penyelamatan atau early action menuju Zero Victim,” jelasnya.
Untuk mendukung sistem tersebut, BMKG saat ini mengoperasikan lebih dari 191 unit pelaksana teknis (UPT) yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan dukungan sekitar 10.800 peralatan operasional utama. BMKG juga mengelola 44 radar cuaca berstandar World Meteorological Organization (WMO), sejumlah stasiun Global Atmosphere Watch (GAW), serta dua superkomputer yang berlokasi di Jakarta dan Bali.
Berbagai sistem peringatan dini berbasis multi-bahaya juga turut dioperasikan BMKG, seperti Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), Meteorological Early Warning System (MEWS), hingga Tropical Cyclone Warning Center (TCWC), yang dirancang untuk memberikan peringatan secara cepat dan akurat.
Selain penguatan peringatan dini, BMKG juga melaksanakan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) sebagai bagian dari upaya mitigasi dampak cuaca ekstrem, termasuk untuk mengurangi risiko banjir serta kebakaran hutan dan lahan di wilayah rawan bencana.
Lebih lanjut, Faisal menekankan bahwa penguatan teknologi harus berjalan seiring dengan peningkatan kapasitas masyarakat. Karena itu, BMKG secara konsisten menyelenggarakan berbagai program edukasi, seperti Sekolah Lapang Cuaca bagi nelayan, literasi iklim bagi generasi muda, program BMKG Goes to School, hingga kunjungan edukatif ke kantor-kantor BMKG. Berbagai materi edukasi dan video mitigasi bencana juga disediakan melalui kanal resmi BMKG untuk memperkuat kesiapsiagaan publik.
“Kita terus meningkatkan pelibatan masyarakat melalui berbagai pembelajaran, pengajaran, dan edukasi yang berkelanjutan,” tuturnya.
Pada kesempatan tersebut, Faisal turut menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam pengelolaan risiko bencana. Menurutnya, pembangunan yang tangguh terhadap bencana membutuhkan sinergi antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat.
Ia mengapresiasi peran Universitas Gadjah Mada yang selama ini aktif mendukung penguatan kapasitas kebencanaan melalui kuliah lapangan, program magang, serta pengembangan riset bersama.
“Ke depan, kami berharap kolaborasi ini tidak hanya berhenti pada kunjungan, tetapi berkembang menjadi riset-riset kolaboratif yang memberikan manfaat,” pungkasnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Teknik UGM, Selo, menyampaikan bahwa webinar Early Warning, Early Action menjadi forum strategis untuk merumuskan pemikiran dan rekomendasi dalam merespons meningkatnya bencana hidrometeorologi.
“Melalui forum ini, kami berharap lahir rekomendasi komprehensif yang dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam memperkuat kesiapsiagaan dan ketahanan bencana di Indonesia,” ujarnya.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber lintas sektor, antara lain Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, akademisi UGM, serta panelis dari komunitas dan lembaga internasional. Kegiatan tersebut diikuti oleh peserta dari unsur pemerintah, akademisi, mahasiswa, komunitas, dan praktisi, baik secara luring maupun daring.





