Jakarta (6/10) - Kegiatan IOWave20 merupakan latihan mitigasi dan evakuasi dalam meresponse sistem peringatan dini tsunami yang diselenggarakan dua tahunan oleh Inter-governmental Coordination Group/ Indian Ocean Tsunami Warning Mitigation System (ICG/IOTWMS)-UNESCO. Tahun ini, IOWave20 dilaksanakan secara serentak di berbagai negara di tepi Samudera Hindia pada tanggal 6 Oktober 2020, pukul 10.00-12.15 WIB dengan skenario kejadian gempabumi di Selatan Jawa, dengan magnitudo 9.1. Berbeda dengan tahun sebelumnya, kegiatan latihan tahun ini disesuaikan dengan kondisi pandemik COVID-19, sehingga latihan dilaksanakan melalui virtual TTX (Table Top Exercise).
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, mengungkapkan bahwa seluruh rangkaian kegiatan IOWave20 dilaksanakan sesuai dengan Guideline UNESCO No.105. "Untuk pelaksanaan IOWave telah disepakati 3 skenario tsunami untuk IOWave20 yaitu di Sunda Trench (Indonesia), Andaman Trench (India), dan Makran Trench (Iran). Namun Indonesia hanya akan berpartisipasi dalam skenario Sunda Trench, khususnya di selatan Pulau Jawa dengan gempabumi magnitudo M9.1 dengan kedalaman 10 km", ujarnya.
IOWave ini sangat penting dilaksanakan untuk mengevaluasi rantai peringatan dini tsunami dan kesinambungan SOP, serta keterlibatan para pihak. Selain itu, kegiatan ini dapat mengevalusai tautan komunikasi di setiap daerah terkait operator 24/7, termasuk kelengkapan alat komunikasi dan kesiapan stakeholder dalam menerima serta memahami peringatan dini tsunami dari BMKG melalui sarana diseminasi WRS NewGen yang sudah dipasang di kantor BMKG, BPBD, dan Media di seluruh Indonesia yang berjumlah 147 lokasi.
Rahmat berharap melalui kegiatan ini akan ada evaluasi SOP terhadap perkembangan sarana diseminasi WRS NewGen dan penerapan sistem mitigasi di masa pandemi serta memastikan kesiapan stakeholder dalam menerima informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami.
Sementara Kepala BMKG yang juga menjadi Chair Inter-Government Coordination Group Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System (ICG-IOTWMS) Prof. Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya melaksanakan gladi evakuasi ataupun TTX, mengingat berdasarkan data BMKG, terjadi lonjakan kejadian gempabumi dalam beberapa tahun terakhir.
"Kejadian gempabumi sebelum tahun 2017 rata-rata hanya 4000-6000 kali dalam setahun, yang dirasakan atau kekuatannya lebih dari 5 sekitar 200-an. Namun setelah tahun 2017 jumlah kejadian itu meningkat menjadi lebih dari 7000 kali dalam setahun. Bahkan tahun 2018 tercatat sebanyak 11920 kali kejadian gempa. Ini namanya bukan peningkatan, tapi sebuah lonjakan," jelas Dwikorita.
Hal tersebut perlu diwaspadai, karena sebagian besar tsunami yang terjadi di dunia dipicu oleh gempabumi. Oleh karena itu, perlu diperkuat sistem mitigasi gempabumi dan tsunami mengingat hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan terjadinya gempabumi.
"Jadi intinya kita harus selalu waspada dan siap apabila sewaktu-waktu terjadi gempabumi dan tsunami. Inilah yang membuat kita harus selalu berlatih agar kita terampil/ cekatan, tidak canggung, tidak panik, dan tahu apa yang harus dilakukan seandainya terjadi gempabumi dan tsunami," lanjutnya.
Dwikorita menambahkan, Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami telah dibangun di Indonesia sejak tahun 2008, dengan memasang ratusan jaringan sensor gempabumi yang diperkuat dengan Internet of Things (IoT), Super Computer dan Artificial Intelliget (AI), dan dilengkapi dengan Pemodelan Matematis untuk memantau kejadian gempabumi dan memprediksi Potensi Kejadian Tsunami sebagai akibat dari gempabumi tersebut. Sistem Peringatan Dini ini dirancang terutama untuk mengantisipasi kejadian gempabumi Megathrust dengan skenario waktu kedatangan tsunami dalam waktu 20 menit.
"Latihan ini sangat tepat untuk melatih kecepatan kita dan menguji kecepatan kita dalam merespon peringatan dini, yang sekaligus juga menguji keandalan sistem peringatan dini tersebut. Apakah WRS New Generation yang baru dipasang bisa memberikan informasi yang cepat tepat dan akurat. Apakah sirine yang dipasang di wilayah rawan gempa dan tsunami dalam kondisi yang baik. Dan yang paling penting, apakah petugas di pemerintah daerah misal BPBD atau Pusdalops benar-benar sudah siaga 24 jam dalam menjalankan perintah evakuasi," imbuh Dwikorita.
"Untuk keberhasilan sistem ini dalam mencegah korban jiwa, kesiapan seluruh pihak baik di Pusat serta Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat dalam merespon Peringatan Dini untuk penyelamatan diri di daerah rawan perlu selalu ditingkatkan, melalui edukasi /pelatihan ataupun gladi evakuasi, juga penyiapan peta, jalur dan tempat evakuasi yang memadai", tambah Dwikorita
Mengakhiri sambutannya, ia meminta peserta kegiatan IOWave20 untuk semangat dan fokus. Dwikorita menegaskan peserta yang berperan sebagai Pelaku, Fasilitator, Observer dan Tim After Action Review (AAR) adalah kunci dari kesiapsiagaan bencana tsunami di Indonesia.
"Mari berpartisipasi dalam IOwave20 untuk membangun kesiapan menghadapi tsunami di masa pandemi", tutup Dwikorita.
Saat pelaksanaan kegiatan IOWave20, diikuti oleh 24 Negara di Pantai Samudera Hindia, dan di Indonesia diikuti 458 peserta yang terdiri dari BNPB, BIG, Basarnas, BPPT,IOTIC UNESCO, UN-inspire, 37 UPT BMKG, 130 BPBD di 33 provinsi, media cetak, online dan elektronik, Bandara Internasional Yogyakarta (YIA), akademisi, dan pihak swasta. Fasilitator dan observer berjumlah 129 orang terdiri dari BPBD dan UPT BMKG.
Biro Hukum dan Organisasi
Bagian Hubungan Masyarakat