
Kembali ke Berita
BMKG Ingatkan Pentingnya Tugu Tsunami Aceh 2004, Sebagai Bekal Siaga Bencana
04 March 2025
Dwi Herlambang
Berita

Jakarta, 4 Maret 2024. Deputi Bidang Geofisika, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Nelly Florida Riama menjelaskan revitalisasi ke-86 Tugu dan Monumen Memorial Tsunami Aceh 2004 (tsunami pole) harus dilakukan sebagai sarana menjaga memori bersama tragedi Tsunami Aceh 20 tahun lalu. Upaya ini diperlukan untuk memastikan generasi mendatang mengetahui sejarah pilu Tsunami Aceh yang merenggut banyak korban sebagai bekal kesiapsiagaan bencana.
“Tugu-tugu tersebut dibangun bukan hanya sebagai monumen untuk mengenang para korban yang meninggal akibat tsunami, tetapi juga sebagai sarana pendidikan untuk masyarakat luas, khususnya generasi penerus, agar selalu waspada dan siap menghadapi gempa bumi dan tsunami yang mungkin terjadi lagi di masa mendatang,” kata Nelly dalam Rapat Koordinasi Pelestarian Memori Kolektif Tugu Gempabumi dan Tsunami Aceh 2004, Selasa (4/3).
Melestarikan tugu tsunami sendiri bertujuan untuk mengajak berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk lebih peduli terhadap keberadaan dan fungsi tugu tsunami. BMKG terus berkoordinasi dengan berbagai stakeholder untuk merawat, menjaga, dan mensosialisasikan pentingnya tugu tsunami.
“Melalui inisiatif ini, diharapkan masyarakat Aceh dapat kembali mengingat dan memanfaatkan tugu tsunami sebagai sarana edukasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana di masa mendatang,” ujarnya.
Pada tahun 2007 atau tiga tahun pasca gempabumi dan tsunami melanda Aceh, Guru Besar Universitas Osaka Jepang, Profesor Megumi Sugimoto bersama lembaga terkait dari Jakarta dan Aceh membangun 86 tugu memorial tsunami yang tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar. Setiap tugu tsunami dilengkapi dengan informasi mengenai tinggi genangan tsunami, jarak landaan tsunami dari pantai, dan destimasi waktu kedatangan gelombang tsunami ke lokasi tugu.
Sayangnya, setelah 18 tahun tugu memori tersebut dibangun, kini kondisinya cukup memprihatinkan bahkan delapan di antaranya hilang karena pemanfaatan lahan. Berdasarkan hasil monitoring di lapangan, banyak tiang tugu dalam kondisi buruk, hilang, bergeser dari lokasi aslinya, cat yang pudar, dan ditumbuhi tumbuhan liar sehingga menutup bentuk fisik tugu.
Akibatnya, tugu memori tsunami yang seharusnya menjadi sarana edukasi bagi masyarakat Aceh menjadi sulit dikenali dan tidak dapat digunakan sebagai sarana pendidikan bencana. Padahal dari ke-86 tugu yang ada, terdapat puluhan tugu yang dibangun di lingkungan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang seyogianya dapat dijadikan saran edukasi.
Melihat fakta tersebut, rencana revitalisasi tugu memori kolektif tsunami ini menjadi hal penting untuk dilakukan. Harapannya, tugu memorial ini kembali dapat digunakan oleh masyarakat mengingat tsunami adalah fenomana yang
jarang terjadi, tetapi apabila terjadi dapat menimbulkan banyak korban jiwa.
Guru Besar Universitas Osaka Jepang, Megumi Sugimoto menyoroti beberapa masalah yang ditemui seperti tidak terawatnya tugu hingga adanya beberapa tugu yang hilang dari lokasi asal. Hal ini patut disayangkan karena situs tersebut menjadi sarana pengingat masyarakat di sekitarnya untuk dapat membangun wilayahnya lebih baik lagi dengan belajar dari cerita pilu masa lalu.
“Akankah kita mewariskan sebagai permata kepada generasi selanjutnya atau akankah kita menunggu beton runtuh? Sekarang adalah titik baliknya,” ujarnya.
Oleh karenanya, setelah direstorasi diperlukan inovasi untuk dikembangkan menjadi tugu edukasi agar keberfungsian dan manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Di sisi lain, tugu tersebut juga bisa dijadikan obyek wisata lokal dan internasional. Terpenting, keterlibatan masyarakat Aceh (khususnya di sekitar tugu) agar bergotong royong untuk menjaganya menjadi hal penting dilakukan.
Sementara itu Direktur Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono menjelaskan dalam membangun kearifan lokal perlu adanya pembelajaran atau mengingat memori masa lalu sebagai langkah untuk penyiapan generasi mendatang. Monumen atau tugu peringatan tsunami adalah salah satu sarana edukasi yang sangat penting untuk dilestarikan.
“Monumen/Tugu Peringatan Tsunami Aceh perlu untuk dilestarikan, dikembalikan lagi fungsinya sebagai pengingat, pengetahuan, dan perencanaan di masa depan (tidak boleh membangun bangunan di lokasi tersebut dengan tinggi kurang dari tinggi tugu). Tugu Tsunami Aceh menjadi bukti di masa datang, bahwa Tsunami Aceh 2004 bukan sebuah dongeng,” katanya.
BMKG sendiri merekomendasikan beberapa hal seperti melakukan pendataan kembali tugu-tugu tsunami Aceh, sosialisasikan kepada siswa sekolah secara regular, kesamaan format informasi yang mesti ada dalam tugu tsunami baik di aceh maupun diluar aceh, merging materi antara sosialisasi yang dibawakan BMKG, dinas pendidikan, dan museum tsunami.
Di sisi lain, BMKG sangat mengapresiasi dan berharap kerjasama dan sinergitas antara BMKG dengan IOTIC, Universitas Osaka, Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Aceh serta seluruh pihak yang telah dan akan membantu pelestarian tugu tsunami. Harapannya, sinergi ini terus padu dan berkelanjutan, serta menghasilkan langkah nyata untuk upaya kesiapsiagaaan masa depan.
“BMKG siap untuk ikut berupaya melestarikan fungsi tugu melalui sosialiasi aktif kepada masyarakat, dan mempromosikannya melalui berbagai kesempatan,” pungkasnya.