
Kembali ke Berita Utama
BMKG Tingkatkan Kapasitas Pemuka Agama dalam Hadapi Tantangan Perubahan Iklim
11 June 2025
Dwi Herlambang
Berita Utama

Jakarta, 11 Juni 2025. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memiliki peran strategis dalam upaya meningkatkan kapasitas tokoh agama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Musababnya, tokoh agama dan pemimpin komunitas memiliki peran dalam menanggulangi krisis iklim dengan menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual kepada masyarakat.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati yang diwakili Deputi Bidang Modifikasi Cuaca Tri Handoko Seto menjelaskan nilai moral yang bisa ditanamkan seperti pentingnya menjaga lingkungan, menjadi teladan dalam gaya hidup ramah lingkungan, serta menggerakkan aksi kolektif di masyarakat. Pun, mendorong kerja sama lintas agama dan menjadi advokat dalam kebijakan publik terkait iklim.
“Dengan pengaruh sosial dan spiritual yang dimiliki, bapak dan ibu mampu membangun kesadaran, solidaritas, dan tindakan nyata menuju keberalanjutan,” kata Seto dalam kegiatan ‘Pembekelan Ilmiah Pemuka Agama tentang Hutan, Manusia, dan Bumi’ di Auditorium Gedung Pusat BMKG, Jakarta, Rabu (11/6).
Dalam hal perubahan iklim, BMKG memainkan peran penting dalam menyediakan informasi peringatan dini cuaca, iklim, dan proyeksi iklim jangka panjang. Data ini dapat dijadikan panduan bagi seluruh pihak dalam menyusun kebijakan ke dapan dan menjadi pijakan melakukan aksi-akasi yang berdaya ungkit tinggi.
Berdasarkan data dari ratusan stasiun pengamatan iklim di Indonesia, tren seluruh wilayah mengalami peningkatan suhu udara rata-rata tahunan secara konsisten. Bahkan, data BMKG dan World Meteorological Organization (WMO) mencatat tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah umat manusia.
“Suhu rata-rata global telah meningkat lebih dari 1,5 derajat celcius dibandingkan masa pra-industri. Padahal kesepakatan dunia mengatakan bahwa 1,5 derajat celcius itu peningkatan suhu yang seharusnya masih diizinkan untuk tercapai pada 2100, sedangkan 2024 sudah tercapai,” ujarnya.
Kondisi tersebut tentunya akan memicu peningkatan kejadian ekstrem baik dalam hal frekuensi maupun intensitas. Misalnya, semakin seringnya hujan lebat yang meningkatkan risiko banjir, tanah longsor sehingga berdampak kerusakan infrastruktur.
Lebih dari itu, pola curah hujan akan menjadi semakin tidak menentu untuk beberapa wilayah sehingga ada daerah yang mengalami kekeringan panjang, ada juga yang dilanda banjir. Ketidakpastian ini tentunya akan menyulitkan perencanaan di pelbagai sektor pembangunan, terutama pertanian dan sumber daya air.
“La Nina dan El Nino yang dulu adalah ritual rutin lima tahunan, karena perubahan iklim dan meningkatnya suhu bumi saat ini bisa terjadi 4,5 tahunan, 4 tahunan, 3 tahunan, bahkan pernah 2 tahun (sekali) sudah terjadi,” tambahnya.
Suhu Terus Naik, Kekeringan Meningkat
Seto menjelaskan, pemanasan global +1,5 derajat celcius akan berdampak pada meningkatnya kejadian kekeringan hingga empat kali lipat. Artinya, kawasan pertanian dan hutan akan lebih sering menghadapi musim kering yang Panjang, air tanah menyusut, dan risiko kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) meningkat.
Data SiPongi KLHK mencatat pada tahun 1997 luas total Karhutla mencapai 4,5 juta hektare; 2015, 2,6 juta hektare; 2018, 0,5 juta hektare; dan 2019 mencapai 1,9 juta hektare. Oleh karenanya, dalam melakukan upaya mitigasi Karhutla, dalam beberapa momen BMKG melakukan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) untuk meminimalisir dampak yang dihasilkan.
Di sisi lain, Seto mengajak seluruh tokoh agama dan komunitas untuk memahami bahwa Indonesia merupakan negara dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo. Karena dari luas hutan tersebut, Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menjadi salah satu penyerap karbon terbesar di dunia dan memberikan umpan balik terhadap kondisi iklim.
Hasil penelitian menunjukkan hutan tropis yang utuh (tropical intact forest) menyerap karbon dalam jumlah besar, yaitu sekitar 1,07 miliar ton karbon per tahun, dan hutan tropis yang sedang mengalami pertumbuhan kembali menyumbang hingga 1,46 miliar ton karbon per tahun. Namun pada saat sama, ada satu ironi, jumlah karbon yang dilepaskan akibat deforestasi di wilayah tropis baik karena penebangan maupun kebakaran hutan sangat besar, yaitu sekitar 2,24 miliar ton karbon per tahun.
Oleh karena itu, Seto berharap pembekalan ini mampu menggerakkan lebih banyak masyarakat melalui para tokoh agama dalam upaya meredam laju pemanasan global serta laju perubahan iklim melalui menjaga hubungan baik antara manusia, hutan, dan bumi. Termasuk juga demi mengurangi dampak bencana yanng akan terjadi.
“Saya yakin dengan kekuatan sentuhan keagamaan, sentuhan spiritual, akan lebih mudah digerakkan umat kita yang sangat meyakini agama,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia Hayu Prabowo mengungkapkan bahwa pelestarian hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau organisasi lingkungan, tapi juga membutuhkan partisipasi aktif seluruh masyarakat. Dengan menggabungkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritualitas, diharapkan upaya pelestarian hutan dapat dilakukan secara lebih realistis dan berkelanjutan.
“Pembekalan ini merupakan langkah awal dalam membangun kesadaran dan aksi nyata pemuka agama dalam melindungi hutan tropis untuk generasi mendatang,” terang Hayu.
Menurutnya, tokoh agama merupakan pemimpin moral yang memiliki peran krusial yang dapat menyatukan kesan spiritualitas dari semua keyakinan untuk mengajak umat menjaga hutan. Sebagaimana diketahui, nilai-nilai luhur agama mengajarkan untuk melestarikan alam sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab kepada Tuhan untuk kesejahteraan kehidupan manusia saat ini dan generasi mendatang.
Kegiatan ini diselenggarakan selama dua hari pada 11-12 Juni 2025 dengan kolaborasi antara IRI Indonesia, BMKG, Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan CIFOR-ICRAF. (ns)