
Kembali ke Berita Utama
351 Tahun Gempabumi dan Tsunami Ambon, Sepenggal Sejarah Pembelajaran Menuju Ambon Tsunami Ready
18 February 2025
Dwi Herlambang
Berita Utama

Jakarta, 18 Februari 2025. 351 tahun lalu, Sabtu, 17 Februari 1674 guncangan gempa kuat membuat lonceng-lonceng di Benteng Victoria, Kota Ambon, Maluku bergoyang. Orang-orang yang berdiri tegak terlempar ke tanah saat bumi bergelombang seperti gulungan air laut.
Deputi Bidang Geofisika, Nelly Florida Riama menjelaskan, gempabumi tersebut membuat masyarakat Ambon kalut dalam kepanikan. Gempa yang bertepatan dengan puncak perayaan Tahun Baru Imlek tersebut menyebabkan kerusakan sangat parah seperti tanah terbelah hingga bukit runtuh secara tiba-tiba di Leitimor
“Kekuatan gempa juga telah mengakibatkan tsunami yang dahsyat utamanya di pesisir Utara Pulau Ambon,” kata Nelly dalam Webinar ‘Peringatan Tsunami Ambon 1674: Sepenggal Kisah Berharga Zaman Kolonial, Bekal Menuju Ambon Tsunami Ready’, Selasa (18/2).
Nelly menjelaskan, menurut catatan Georg Eberhard Rumphius (1962-1702)—ilmuwan Belanda yang mencatat peristiwa gempabumi dan tsunami Ambon tersebut–dampak dari bencana alam ini sangat mengerikan di eranya di mana sebanyak lebih dari 2000 orang tercatat meninggal dan banyak rumah mengalami kerusakan berat.
Dalam catatannya, guncangan yang sangat keras melanda seluruh Pulau Ambon dan pulau-pulau di sekitarnya. Sesaat setelah gempabumi, pesisir Pulau Ambon diterjang gelombang tsunami. Pesisir Utara Semenanjung Hitu menderita kerusakan yang paling parah, terutama di daerah Seit di antara Negeri Lima dan Hila di mana air naik hingga ketinggian 90-110 meter.
“Catatan Rumphius merupakan catatan tertua sejarah gempa dan tsunami yang pernah terjadi di Maluku dan sekitarnya pada tahun 1674.
Direktur Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono menjelaskan, Kondisi tersebut menyebabkan wilayah Maluku tidak pernah sepi akan kejadian gempabumi. Hal ini karena banyaknya sumber-sumber gempabumi di wilayah tersebut. Hal ini menjadikan Potensi Gempabumi dan Tsunami di Maluku dan Sekitarnya, khususnya pulau Ambon sangatlah tinggi.
“Oleh karenanya, masyarakat perlu diadvokasi agar peduli dan siap untuk merespon tanda-tanda bahaya alam, sama baiknya dengan memahami peringatan resmi. Pembangunan kapasitas untuk kesiapsiagaan masyarakat dalam mempertahankan diri harus menjadi program yang berkelanjutan di Ambon dan sekitarnya,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Tim Mitigasi Tsunami Samudera Hindia dan Pasifik BMKG Suci Dewi Anugrah menjelaskan dari Peristiwa tsunami ini, BMKG akan terus mengembangkan Sistem Peringatan Dini Tsunami. Selain itu, Sebagai langkah konkrit, BMKG mendampingi masyarakat kota Ambon dalam meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan menghadapi potensi tsunami di masa mendatang dengan mewujudkan Masyarakat Siaga Tsunami atau Tsunami Ready Community.
Sejak tahun 2023, BMKG mendampingi Negeri Hative Kecil dan Negeri Galala dengan melaksanakan Sekolah Lapang Gempabumi, dan diikuti rangkaian simulasi gempabumi potensi tsunami. Puncaknya, pada 11 November 2024, bertepatan dengan Simposium Tsunami Global di Banda Aceh, BMKG mendatangkan Perwakilan Desa Galala dan Hative Kecil kota Ambon untuk pengukuhan pengakuan internasional sebagai komunitas siaga tsunami atau UNESCO-IOC Tsunami Ready Recognition Program.
Pj. Wali Kota Ambon Dominggus Nicodemus Kaya memberikan apresiasi terhadap peran BMKG dalam pelaksanakan program Tsunami Ready di Galala dan Hative Kecil yang saat ini telah mendapatkan pengakuan internasional. Seyogianya ancaman gempabumi dan tsunami tidak bisa dihilangkan di Kota Ambon namun bagaimana seluruh pihak dapat berkolaborasi untuk meningkatkan kapasitas dalam menghadapi ancaman gempabumi dan tsunami.
“Baik kapasitas secara personal maupun komunal melalui pengenalan risiko, pemetaan daerah rawan bencana, edukasi, penyusunan dokumen kedaruratan, sampai dengan latihan kesiapsiagaan. Sederet Sejarah memberikan Gambaran ancaman bencana yang dapat kita alami suatu waktu dan peringatan kita semua untuk dapat meningkatkan kesiapsiagaan dan komunitas,” pungkasnya.