
Kembali ke Berita Kegiatan
Perubahan Iklim Bukan Lagi Isu Global, BMKG Tegaskan Dampaknya Nyata
30 April 2025
Fahmi Dendi Saputra
Berita Kegiatan

Jakarta, 30 April 2025 – Plt. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa perubahan iklim adalah kenyataan ilmiah yang harus dihadapi bersama. Hal ini ia sampaikan dalam Webinar Nasional bertajuk “Perubahan Iklim dan Mitigasi Bencana Global dan Lokal” yang diselenggarakan oleh Universitas Lampung pada Rabu (30/4).
Dalam paparannya, Dwikorita menjelaskan bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan telah terjadi saat ini dan semakin nyata dirasakan di berbagai belahan dunia. “Perubahan iklim adalah perubahan signifikan pola cuaca global dan regional dalam jangka panjang. Saat ini, kita menyaksikan perubahan yang dulunya memakan waktu jutaan tahun, kini terjadi hanya dalam beberapa dekade akibat aktivitas manusia, terutama sejak Revolusi Industri,” ujarnya.
BMKG mencatat bahwa tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah pencatatan suhu global. Suhu rata-rata global tercatat telah melampaui ambang batas 1,5°C dibandingkan masa pra-industri (tahun 1850). Ambang batas ini adalah angka krusial yang ditetapkan dalam Kesepakatan Paris untuk menghindari dampak paling buruk dari perubahan iklim.
“Target pembatasan suhu global semestinya baru tercapai pada tahun 2100, namun kini sudah dilampaui jauh lebih awal. Ini menjadi alarm keras bagi seluruh dunia,” tegasnya.
Di Indonesia, anomali suhu rata-rata nasional mencapai +0,8°C dibandingkan periode normal 1991- 2020. Dampaknya bukan hanya suhu yang lebih panas, tetapi juga peningkatan intensitas dan frekuensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, gelombang panas, dan kebakaran hutan.
Khusus di Provinsi Lampung, BMKG mencatat adanya tren peningkatan suhu rata-rata sebesar 0,27°C per dekade. Wilayah utara dan timur Lampung, seperti Kabupaten Mesuji, Tulang Bawang, dan sebagian Way Kanan, menjadi daerah dengan laju pemanasan tertinggi. Fenomena ini dikaitkan dengan perubahan tutupan lahan, alih fungsi kawasan hijau, dan efek urban heat island di wilayah perkotaan.
“Jika tidak ada intervensi, tren pemanasan ini akan terus berlanjut dan berkontribusi pada peningkatan risiko bencana di masa depan,” ungkapnya.
Berdasarkan proyeksi iklim hingga tahun 2050, suhu di Lampung diprediksi bisa meningkat hingga 1,3°C dalam skenario tanpa mitigasi (SSP-370). Namun, jika upaya pengendalian emisi karbon dilakukan secara maksimal, peningkatan suhu bisa ditekan hingga kisaran 0,6–0,9°C.
Dalam kesempatan tersebut, BMKG juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, baik dari pemerintah, akademisi, dunia usaha, maupun masyarakat sipil, untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.
“Mitigasi dan adaptasi harus dilakukan secara simultan. Pengendalian emisi karbon, reforestasi, pemanfaatan energi terbarukan, serta pembangunan berbasis tata ruang berkelanjutan menjadi kunci utama,” tambahnya.
Universitas Lampung sebagai tuan rumah webinar juga menyatakan komitmennya untuk turut berperan dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat dalam bidang perubahan iklim. Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam menghasilkan inovasi dan membangun kesadaran publik terhadap isu lingkungan dan keberlanjutan.
Webinar yang dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai kalangan ini diakhiri dengan seruan untuk memperkuat aksi iklim secara kolektif. BMKG mendorong agar data dan informasi iklim yang telah tersedia digunakan sebagai dasar dalam perencanaan pembangunan, kebijakan publik, dan tindakan mitigasi risiko bencana di tingkat global maupun lokal.