
Kembali ke Berita
Belajar dari Cuaca Ekstrem, BMKG Soroti Tantangan dan Solusi Mitigasi Bencana
23 April 2025
Kholis Nur Cahyo
Berita

Bogor, 23 April 2025 – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengajak seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana yang makin dipengaruhi oleh perubahan iklim ekstrem. Hal ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam forum workshop internasional bertajuk “Exploring Technological and Interdisciplinary Approaches to Disaster Management in Indonesia”, yang digelar secara hybrid oleh Queen Mary University of London dan National Battery Research Institute (NBRI).
Sebagai salah satu pembicara utama, Dwikorita memaparkan materi bertema Aspek Meteorologi Bencana di Indonesia. Ia menyoroti bahwa 95% bencana yang terjadi di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, hingga badai tropis. “Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah menurut pengamatan World Meteorological Organization (WMO), melampaui rekor tahun 2023. Tren ini menunjukkan peningkatan suhu yang konsisten dan mengkhawatirkan, termasuk di wilayah Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dwikorita menjelaskan bahwa kondisi iklim di Indonesia sangat dipengaruhi oleh beragam faktor yang saling berkaitan, sehingga meningkatkan kompleksitas dalam proses prediksi. Ia mengulas beberapa kejadian bencana besar sebagai refleksi atas perubahan karakteristik cuaca ekstrem, salah satunya adalah banjir Jakarta tahun 2020 yang disebabkan oleh curah hujan ekstrem dalam durasi singkat (cumulative rainfall over short duration/cult short).
Fenomena ini menunjukkan bahwa bencana tidak hanya dipengaruhi oleh faktor alamiah (natural behavior), tetapi juga oleh dinamika sosial (social behavior), seperti pertumbuhan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan rendahnya literasi masyarakat terhadap risiko bencana. Dalam konteks ini, BMKG melihat perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif dalam membangun ketangguhan masyarakat.
Sebagai bentuk tanggung jawab dalam mitigasi bencana, BMKG telah mengembangkan sistem peringatan dini secara berjenjang, dimulai dari observasi cuaca dan iklim, pemrosesan data, produksi informasi, hingga diseminasi kepada masyarakat. Namun demikian, BMKG menyadari bahwa tantangan besar masih dihadapi, terutama dalam menjangkau wilayah terpencil yang minim infrastruktur komunikasi serta masyarakat yang belum sepenuhnya memahami informasi teknis kebencanaan.
Oleh karena itu, BMKG mendorong kolaborasi lintas sektor sebagai kunci dalam mewujudkan sistem peringatan dini yang efektif. Edukasi kebencanaan, penguatan literasi iklim, serta pemanfaatan teknologi adaptif berbasis komunitas menjadi langkah nyata yang perlu diperkuat. Dalam hal ini, peran aktif dari Pemerintah Daerah, BNPB, Basarnas, TNI, Polri, media massa, serta unsur masyarakat lokal menjadi sangat penting dalam menjembatani kesenjangan antara teknologi dan pemahaman publik.
Menutup pemaparannya, Dwikorita menegaskan bahwa sistem peringatan dini yang efektif harus tepat waktu, mudah dipahami, dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di daerah rawan bencana. “Peringatan dini bukanlah akhir dari sistem perlindungan, melainkan awal dari aksi nyata yang dapat menyelamatkan jiwa dan meminimalkan kerugian. Untuk itu, diperlukan komitmen bersama dan kolaborasi lintas sektor agar peringatan dini benar-benar menjadi tindakan dini,” pungkasnya.