Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kembali menggelar Focus Group Disccusion (FGD) "Tantangan Deteksi Dini Tsunami Jarak Dekat dan Rencana Aksi ke Depan".
FGD yang berlangsung pada Jumat (25/6) bertujuan untuk memberikan gambaran kondisi terkini pengetahuan tentang ancaman gempa bumi dan tsunami di Indonesia terutama dari sumber non tipikal. Selain itu juga kegiatan FGD ini juga untuk memberikan gambaran kemampuan BMKG dan instansi lain dalam upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami dekat.
Dalam kesempatan ini turut serta hadir Dr. Widjo Kongko dari BPPT, Dr. Sugeng Pribadi dari BMKG, Dr. Yudhicara, M,Si dari PVMBG, Dr. Semeidi Husrin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Lalu penanggap oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja dari LIPI, Dr. Gegar Prasetya dari IATsl serta Dr. Wahyu Triyoso dari ITB.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) No. 93 tahun 2019 tentang penguatan dan pengembangan sistem informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami harus diimplementasikan secara nyata. "Tidak bisa K/L/D sendiri-sendiri dan masih mengedepankan ego sektoral karena yang menjadi taruhan adalah nyawa rakyat Indonesia," ujar Dwikorita
Ia menegaskan, dalam Perpres tersebut Presiden menekankan pentingnya pencegahan dan mitigasi dalam menghadapi kebencanaan. Koordinasi yang baik, menurutnya, akan mencegah dampak kerugian yang lebih besar.
Dwikorita mengatakan, bencana alam yang bersumber dari geologi dan vulkanologi seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, dan lain sebagainya, merupakan peristiwa yang tidak bisa dihindari karena kondisi wilayah Indonesia rawan bencana, yang sebagian besarnya terdapat patahan-patahan lempeng bumi. Namun demikian, risiko dari bencana yang akan terjadi bisa diminimalisir dengan deteksi dini.
"Indonesia punya sejarah panjang kebencanaan. Mayoritas wilayah Indonesia merupakan daerah yang rawan akan terjadinya gempa bumi dan tsunami. Maka dari itu upaya mitigasi terintegrasi perlu diterapkan. Jangan sampai kita masih gagap,"imbuhnya.
Masyarakat, lanjut Dwikorita harus menjadi subjek dalam upaya mitigasi bencana. Dengan begitu masyarakat akan terdidik bagaimana memitigasi bencana, membangun kewaspadaan dan kesiapsiagaan, kemudian tanggap terhadap pemulihan dalam berbagai aspeknya apabila bencana benar-benar terjadi.
Dwikroita menyebut, Jika kesadaran masyarakat telah terbentuk, maka ke depan masyarakat Indonesia tidak akan lagi berasumsi bahwa urusan bencana hanya menjadi urusan dan kewajiban Pemerintah, BMKG, BNPB, SAR, TNI, atau BPBD.
"Literasi kebencanaan masyarakat perlu kita tingkatkan. Terutama masyarakat yang tinggal didaerah-daerah rawan bencana. Ini pekerjaan rumah besar yang tidak bisa dikerjakan hanya oleh BMKG saja. Perlu kerja bersama dengan semua pihak hingga level desa," paparnya.
"BMKG sendiri saat ini tengah membangun dan memperkuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami. Kajian dan riset terus dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi High Performance Computing (HPC), Artificial intelligence (AI) dan big data, serta melibatkan Institusi Penelitian, Kerekayasaan, serta Perguruan Tinggi," tambah dia.