SIARAN PERS
JAKARTA (23 April 2021) - Presiden ke-5 Republik Indonesia, DR. (H.C) Megawati Soekarnoputri mengajak seluruh anak bangsa gotong royong dalam menghadapi ancaman bencana alam yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
"Urusan kebencanaan adalah urusan bersama komponen bangsa. Semua harus saling bahu membahu dan memiliki tanggung jawab yang sama," kata Megawati dalam acara Focus Group Discussion (FGD) di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Kemayoran, Jakarta, Jum'at (23/4).
Hadir dalam acara tersebut baik secara langsung daring maupun luring antara lain Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Kepala BNPB Doni Monardo, Kepala Badan Pencarian, dan Pertolongan (BASARNAS) Marsekal Muda (Marsda) TNI Henri Alfiandi, Pembina Badan Penanggulangan Bencana (BAGUNA) PDIP Ir. Hasto Kristiyono, Ketua Ikatan Ahli Bencana Indonesia Dr. Harkunti Rahayu dan para stake holder lainnya antara lain Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Bali, Gubernur Sulawesi Utara, dan Bupati Flores Timur. Dalam kesempatan tersebut, Megawati juga meluncurkan Gerakan Budaya Siaga Bencana dengan harapan bukan hanya sebagai slogan.
Megawati mengatakan, bencana alam dapat dimitigasi melalui penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun menurutnya, masih ada pejabat pemerintah dan masyarakat yang belum sepenuhnya sadar terhadap pentingnya sistem peringatan dini dan mitigasi bencana.
Diterangkan Megawati, berdasarkan data milik BMKG, dalam kurun waktu lima tahun terakhir kejadian bencana semakin meningkat tajam. Hal ini, kata dia, seharusnya lebih melatih sensitivitas dalam melakukan upaya mitigasi dan penanggulangan bencana.
"Kesiapsiagaan menghadapi bencana juga harus menyentuh masyarakat yang paling terancam bencana," ujarnya.
Megawati menambahkan, langkah terobosan yang perlu diambil adalah Politik Tata Ruang. Tata ruang harus disusun dan diterapkan secara efektif, mengikat secara hukum dan menjadi pedoman di dalam perencanaan pembangunan.
"Untuk itu saya meminta agar BMKG benar-benar menjadi 'Centre of Command and Control' atas sistem deteksi dini bencana alam, baik akibat anomali ikilm, vulkanik, tektonik, dan berbagai bencana lainnya seperti kebakaran hutan, banjir dan tanah longsor," imbuhnya.
Terobosan selanjutnya adalah Single Map Policy. Guna mendukung politik tata ruang, maka kebijakan single map policy yang telah dicanangkan Presiden Joko Widodo harus segera direalisasikan agar tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan tata ruang.
Selanjutnya adalah bangunan tahan gempa. Serta Ketentuan Garis Sempadan. Perencanaan tata letak bangunan ditinjau dari ketentuan garis sempadan pantai, garis sempadan sungai, garis sempadan jalan, dan garis sempadan bangunan harus benar-benar dijalankan dengan disiplin.
"Maka masyarakat perlu mengenali risiko bencana, menyiapkan kebutuhan minimal antisipasi bencana seperti Tas Siaga BENCANA serta berlatih secara rutin agar mudah diarahkan saat bencana terjadi," tuturnya.
Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam laporannya mengatakan, sebagai dampak dari Perubahan Iklim Global dan kerusakan lingkungan, kejadian cuaca dan iklim ekstrem yang memicu bencana hidrometeorologi berupa banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang, puting beliung, gelombang tinggi, dan siklon tropis meningkat tajam dalam periode 5 tahun terakhir.
Dwikorita menerangkan, periode ulang anomali iklim global La Nina dan El Nino sebelum tahun 1980 adalah 5-7 tahun sekali. Namun dalam 40 tahun terakhir menjadi 2-3 tahun sekali. Begitu pula kejadian siklon tropis yang dimonitor BMKG sejak 2008, sebelumnya terjadi dengan periode ulang 2-4 tahun sekali, namun sejak 2017 terjadi setiap tahun dan bahkan dalam 1 bulan dapat terjadi beberapa kali.
Peningkatan juga terjadi pada kejadian gempabumi, data BMKG mencatat sejak 2008 hingga 2016 rata-rata sebanyak 5.000-6.000 kali dengan berbagai kekuatan dalam setahun. Namun pada 2017 kejadian gempabumi meningkat menjadi 7.169 kali, bahkan pada 2018 dan 2019 menjadi lebih dari 11.400 kali.
BMKG, lanjut Dwikorita mencatat pada 2020 kejadian gempabumi masih di atas rata-rata tahunan yaitu 8.258 kali. Awal 2021 tercatat selama Januari telah terjadi 662 kali, melampaui kejadian gempabumi rata-rata bulanan yang berkisar antara 300 sampai 400 kali kejadian.
"Fakta situasi ini menjadi alarm bagi kita semua untuk segera melakukan Peningkatan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana di daerah dan di masyarakat, agar Zero Victims dapat benar-benar terwujud," kata Dwikorita.
Terkait kendala yang dihadapi BMKG, Dwikorita mengatakan hal yang paling krusial adalah terbatasnya jumlah peralatan monitoring gempabumi nontektonik (karena erupsi gunung api, longsor laut, dsb), mengingat banyaknya gunung api dan potensi longsor di laut Indonesia yang dapat menimbulkan tsunami, seperti Tsunami Selat Sunda dan Palu 2018.
Kendala lainnya, yaitu data monitoring gunung api laut/pada pulau kecil yang belum terintegrasi secara optimal ke dalam Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami di BMKG. Pemantauan data tersebut dilakukan oleh lembaga yang terpisah, yaitu oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang berada di bawah Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Terpisahnya lembaga ini, menurut Dwikorita berdampak fatal saat kejadian Tsunami Non Tektonik di Selat Sunda yang diakibatkan oleh erupsi gunung api yg memicu lingsor laut, yang tidak dapat terpantau oleh BMKG. Sebagai lembaga penyedia peringatan dini, BMKG dapat merujuk pada contoh baik dari Japan Meteorological Agency (JMA) yang melakukan monitoring gempabumi, gunung api, dan cuaca di dalam satu lembaga.
"Kekhawatiran kami, tsunami akibat erupsi gunung api, sedangkan sistem peringatan dini tidak ada link dengan gunung api karena berada di bawah ESDM. Jadi kami tidak punya data sama sekali. Kurang lebih masih ada delapan gunung api yang berpotensi tsunami yang datanya sama sekali tidak dimiliki BMKG,"terangnya.
Selain itu, juga adanya gap dalam rantai peringatan dini di bagian hilir untuk masyarakat. Informasi Peringatan Dini yang sampai ke daerah melalui BPBD/Tim Siaga Bencana, ternyata tidak selalu diikuti respon yang memadai.
"Dalam hal ini perlu disiapkan rencana kontigensi dan SOP yang jelas oleh pemerintah daerah dengan dukungan Kementerian Dalam Negeri dan BNPB yang merupakan focal point yang mengkoordinasikan penanggulangan bencana serta komponen kultur dalam Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami, sesuai dengan Peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku,"pungkasnya. (*)
Biro Hukum dan Organisasi
Bagian Hubungan Masyarakat
Instagram : @infoBMKG
Twitter : @infoBMKG @InfoHumasBMKG
Facebook : InfoBMKG
Youtube : infoBMKG
https://www.bmkg.go.id/